“Pancasila Sebagai Dasar Negara”
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى
وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S.
Yusuf:111)
Tujuannya
mempelajari: memperoleh banyak pengetahuan menilai, mengetahui kepentingan
serta sebab akibat sesuatu peristiwa, memahami sejarah awal bangsa dan Negara
kita. menghargai jasa dan usaha pemimpin Negara. Mengelak melakukan kesilapan
masa lalu, membolehkan kita merangka wawasan masa depan.
Lambang garuda pancasila dan gedung pancasila
Lagu Garuda Pancasila
A. Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara
Lagu Garuda Pancasila
A. Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara
1.
Pembentukan BPUPKI
Bangsa
Indonesia mengalami sejarah yang panjang dalam melawan penjajah. Bangsa
Indonesia pernah mengalami penderitaan ketika dijajah Belanda. Sejarah juga
mencatat kekalahan Belanda oleh Jepang kemudian menyebabkan bangsa Indonesia
dijajah oleh Jepang. Pepatah “lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya”
tepatlah kiranya untuk menggambarkan bagaimana kondisi bangsa Indonesia saat
itu. Jepang mulai menguasai Indonesia setelah Belanda menyerah kepada Jepang di
Kalijati, Subang Jawa Barat pada tanggal 8 Maret 1942. Semboyan “Jepang
Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Cahaya Asia” didengungkan oleh
Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Sejak berkuasa di Indonesia, Jepang
dengan segala cara menguras kekayaan dan tenaga rakyat Indonesia yang
menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.
Penjajahan
oleh Belanda dan Jepang menimbulkan penderitaan yang dalam bagi bangsa
Indonesia. Namun, penderitaan tersebut tidak menyurutkan semangat bangsa
Indonesia untuk meraih kemerdekaan.Berbagai upaya dilakukan bangsa Indonesia
dengan menyusun barisan dan bersatu padu mewujudkan kemerdekaan yang
dicita-citakan.
Pada
bulan September 1944, Perdana Menteri Jepang, Koiso, dalam sidang parlemen mengatakan
bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tindak lanjut dari
janji tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945, Jepang mengumumkan pembentukan
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia/BPUPKI). BPUPKI beranggotakan 62 orang yang terdiri atas tokoh-tokoh
bangsa Indonesia dan 7 orang anggota perwakilan dari Jepang.
Ketua
BPUPKI adalah dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dengan dua wakil ketua,
yaitu: Ichibangase Yosio (Jepang) dan R.P Soeroso. BPUPKI mengadakan sidang
sebanyak dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi. Sidang resmi
pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, membahas tentang dasar
negara. Sedangkan sidang kedua berlangsung tanggal 10 sampai dengan 17 Juli
1945 dengan membahas rancangan Undang-Undang Dasar. Sidang BPUPKI dilaksanakan
di gedung “Chuo Sangi In”, dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung
Pancasila.
2. Perumusan Dasar Negara oleh Pendiri Negara
Ketua
BPUPKI dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat pada pidato awal sidang pertama BPUPKI,
menyatakan bahwa untuk mendirikan Indonesia merdeka maka diperlukan suatu dasar
negara Indonesia merdeka. Seperti disampaikan oleh Ir Soekarno pada awal pidato
tanggal 1 Juni 1945.
…. Saya akan menetapi permintaan Paduka
Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka
Tuan Ketua yang mulia ? Paduka Tuan dan
Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk
mengemukakan Dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di
dalam pidato saya ini. (Risalah Sidang, Halaman 63)
Dasar
negara merupakan pondasi berdirinya sebuah negara. Ibarat sebuah bangunan,
tanpa pondasi tentu bangunan itu tidak akan berdiri dengan kukuh. Oleh karena
itu, sebuah dasar negara sebagai pondasi harus disusun sebaik mungkin. Untuk
menjawab permintaan Ketua BPUPKI ini, maka beberapa tokoh pendiri negara
mengusulkan rumusan dasar negara. Rumusan dasar Negara yang diusulkan memiliki
perbedaan satu dengan yang lain. Namun demikian rumusan-rumusan tersebut
memiliki persamaan dari segi materi dan semangat yang menjiwainya. Gagasan yang
disampaikan berdasarkan sejarah perjuangan bangsa dan dengan melihat pengalaman
bangsa lain. Pandangan yang disampaikan diilhami oleh gagasan-gagasan besar
dunia, tetapi berakar pada kepribadian dan gagasan besar bangsa Indonesia
sendiri.
Usulan
mengenai dasar Indonesia merdeka dalam Sidang Pertama BPUPKI secara berurutan
dikemukakan oleh Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Mr.
Mohammad Yamin mengusulkan dasar negara dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei
1945. Dalam mengusulkan rancangan dasar negara Indonesia merdeka, Mr. Mohammad
Yamin menekankan bahwa:
“… rakyat Indonesia mesti mendapat dasar
negara yang berasal dari pada peradaban kebangsaan Indonesia; orang timur
pulang kepada kebudayaan timur.”
“… kita tidak berniat, lalu akan meniru
sesuatu susunan tata negara negeri luaran. Kita bangsa
Indonesia masuk yang beradab dan
kebudayaan kita beribu-ribu tahun umurnya.”
Mr.
Mohammad Yamin mengusulkan lima asas dan dasar bagi negara Indonesia merdeka
yang akan didirikan, yaitu:
a. Peri
Kebangsaan
b. Peri
Kemanusiaan
c. Peri
Ketuhanan
d. Peri Kerakyatan
e. Kesejahteraan
Sosial.
Setelah
selesai berpidato, Mr. Mohammad Yamin menyampaikan konsep mengenai asas dan
dasar Negara Indonesia merdeka secara tertulis kepada Ketua Sidang, yang
berbeda dengan isi pidato sebelumnya. Asas dan dasar Indonesia merdeka secara
tertulis menurut Mr. Mohammad Yamin adalah sebagai berikut:
a. Ketuhanan
Yang Maha Esa
b. Kebangsaan
persatuan Indonesia
c. Rasa
kemanusiaan yang adil dan beradab
d. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
e. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Selanjutnya,
pada tanggal 31 Mei 1945, Mr. Soepomo menyampaikan pidatonya tentang dasar negara.
Menurut Mr. Soepomo, dasar negara Indonesia merdeka adalah sebagai berikut.
a. Persatuan
b. Kekeluargaan
c. Keseimbangan
Lahir dan Batin
d. Musyawarah
e. Keadilan
Rakyat
Mr.
Soepomo juga menekankan bahwa Negara Indonesia merdeka bukan negara yang
mempersatukan dirinya dengan golongan terbesar dalam masyarakat dan tidak
mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat (golongan politik atau
ekonomi yang paling kuat). Akan tetapi, negara mempersatukan diri dengan segala
lapisan rakyat yang berbeda golongan dan paham. Ir. Soekarno berpidato pada
tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Ir. Soekarno mengemukakan dasar negara
Indonesia merdeka. Dasar negara, menurut Ir. Soekarno, berbentuk Philosophische
Grondslag atau Weltanschauung. Dasar negara Indonesia merdeka menurut
Ir. Soekarno adalah sebagai berikut:
a. Kebangsaan
Indonesia
b. Internasionalisme
atau Peri Kemanusiaan
c. Mufakat
atau Demokrasi
d. Kesejahteraan
Sosial
e. Ketuhanan
yang Berkebudayaan
Ir.
Soekarno dalam sidang itu pun menyampaikan bahwa kelima dasar Negara tersebut
dinamakan Panca Dharma. Kemudian, atas saran seorang ahli bahasa, Ir. Soekarno
mengubahnya menjadi Pancasila. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
mengemukakan pemikirannya tentang Pancasila, yaitu nama dari lima dasar negara
Indonesia. Dengan berdasar pada peristiwa tersebut maka tanggal 1 Juni
ditetapkan sebagai “Hari Lahirnya Pancasila”. Pada akhir masa persidangan
pertama, Ketua BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang bertugas untuk mengumpulkan
usul-usul para anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya (10 s.d 17
Juli 1945). Panitia Kecil yang resmi ini beranggotakan delapan orang (Panitia
Delapan) di bawah pimpinan Soekarno. Terdiri dari 6 orang wakil golongan
kebangsaan dan 2 orang wakil golongan Islam. Panitia Delapan ini terdiri
Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo, Otto
Iskandardinata (golongan kebangsaan), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid
Hasjim (golongan Islam). Panitia Kecil ini mengadakan pertemuan untuk
mengumpulkan dan memeriksa usul-usul menyangkut beberapa masalah yaitu
Indonesia merdeka selekas-selekasnya, Dasar (Negara), Bentuk Negara Uni atau
Federasi, Daerah Negara Indonesia, Badan Perwakilan Rakyat, Badan Penasihat,
Bentuk Negara dan Kepala Negara, Soal Pembelaan, dan Soal Keuangan.
Di
akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil inisiatif membentuk Panitia
Kecil beranggotakan 9 orang, yang kemudian dikenal sebagai “Panitia Sembilan”.
Panitia Sembilan ini terdiri dari Soekarno (ketua), Mohammad Hatta, Muhammad
Yamin, A.A. Maramis, Soebardjo (golongan kebangsaan), K.H. Wachid Hasjim, K.H.
Kahar Moezakir, H. Agoes Salim, dan R. Abikusno Tjokrosoejoso (golongan Islam).
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan langsung mengadakan rapat di rumah
kediaman Ir. Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Rapat
berlangsung alot karena terjadi perbedaan pandangan antarpeserta rapat tentang
rumusan dasar negara. Panitia ini bertugas untuk menyelidiki usul-usul mengenai
perumusan dasar Negara yang melahirkan konsep rancangan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep rancangan Pembukaan ini
disetujui pada 22 Juni 1945. Oleh Soekarno rancangan Pembukaan Undang-Undang
Dasar ini diberi nama “Mukaddimah”, oleh M. Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, dan
oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s Agreement”.
Akhirnya,
disepakati rumusan konsep dasar negara yang tercantum dalam mukadimah
(pembukaan) hukum dasar. Bunyi mukadimah memiliki banyak persamaan dengan
Pembukaan UUD 1945. Bunyi lengkap mukadimah adalah sebagai berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan, dengan berdasar kepada:
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan,
serta dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Naskah
mukadimah yang ditandatangani oleh 9 (sembilan) orang anggota Panitia Sembilan,
terkenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Mukadimah tersebut selanjutnya
dibawa ke sidang BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Pada tanggal 14 Juli 1945,
mukadimah disepakati oleh BPUPKI. Rumusan dasar negara yang termuat dalam
Piagam Jakarta, sebagai berikut:
a. Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya
b. Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
c. Persatuan
Indonesia, dan
d. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan.
e. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
B. Penetapan Pancasila sebagai Dasar
Negara
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II membuka kesempatan bagi bangsa
Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia atas dasar prakarsa
bangsa Indonesia sendiri. Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan oleh
Jepang. Sebagai gantinya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang beranggotakan 21 orang. PPKI diketuai oleh Ir. Soekarno dan
wakilnya Drs. Moh. Hatta. PPKI yang dibentuk oleh Jepang kemudian ditambah
anggotanya menjadi 27 orang. Perubahan keanggotaan PPKI memiliki nilai
strategis karena PPKI murni dibentuk bangsa Indonesia untuk mempersiapkan
kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kesan bahwa PPKI bentukan
Jepang hilang.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
ke seluruh dunia. Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945 PPKI melaksanakan
sidang. Hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan 3 (tiga) hal:
1. Menetapkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Ir Soekarno dan Moh
Hatta.
3. Membentuk sebuah Komite Nasional, untuk membantu Presiden.
Salah satu keputusan sidang PPKI adalah mengesahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam Pembukaan Alinea IV
mencantumkan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara. Perubahan penting dalam
sidang ini yaitu perubahan rumusan dasar negara yang telah disepakati dalam
Piagam Jakarta.yaitu tujuh kata setelah Ke-Tuhanan, yang semula berbunyi
“Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Sidang PPKI tersebut, Moh. Hatta
menyatakan, bahwa masyarakat Indonesia Timur mengusulkan untuk menghilangkan
tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu
“... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
...”.
Usulan tersebut disampaikan sebagai masukan sebelum sidang yang
disampaikan oleh seorang opsir Jepang yang bertugas di Indonesia Timur, yang
bernama Nishijama. Dengan jiwa kebangsaan, para pendiri negara menyepakati
perubahan Piagam Jakarta. Dengan demikian, sila pertama Pancasila menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Mengenai
kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, M. Hatta menuturkan dalam
Memoirnya yang dikutip dalam Buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, sebagai berikut:
“Pada sore harinya aku menerima telepon
dari tuan Nishijama, pembantu Admiral Maeda, menanyakan dapatkah aku menerima
seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat
penting bagi Indonesia. Nishijama sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku
mempersilahkan mereka datang. Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai
utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik,
yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian
kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka mengakui
bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang
beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar
yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap
golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri
di luar republik Indonesia. Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi,
sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.
Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang
Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai
keberatan apa-apa dan tanggal 22 Juni 1945 ia ikut menandatanganinya. Opsir tadi
mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpinpemimpin Protestan
dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma
memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90% jumlahnya
dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa bahwa
penetapan itu adalah suatu diskriminasi. Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah
pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan
tiada kecualinya. Kalau sebagian daripada dasar itu hanya mengikat sebagian
rakyat Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan oleh golongan-golongan minoritas
sebagai diskriminasi. Sebab itu kalau diteruskan juga Pembukaan yang mengandung
diskriminasi itu, mereka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di
luar Republik.Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 agustus
1945, sebelum Sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid
Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera
mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita
jangan pecah sebagai bangsa,kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat
yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantikannya dengan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara
dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah
suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar
mementingkan nasib dan persatuan bangsa.” (Mohammad Hatta, 1979: 458-560 dalam
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Tim Penyusun, 2012: 38 – 40).
Rumusan
sila-sila Pancasila yang ditetapkan oleh PPKI dapat dilihat selengkapnya dalam
naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rumusan sila-sila Pancasila tersebut adalah:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.
Persatuan Indonesia.
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
C. Semangat dan Komitmen Kebangsaan
Para Pendiri Negara dalam Perumusan dan Penetapan Pancasila
1. Nilai Semangat Pendiri Negara
Semangat
kebangsaan harus tumbuh dan dipupuk dalam diri warga negara Indonesia. Semangat
kebangsaan merupakan semangat yang tumbuh dalam diri warga negara untuk
mencintai dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Seseorang yang
memiliki rasa kebangsaan Indonesia akan memiliki rasa bangga sebagai warga Negara
Indonesia. Kebanggaan sebagai bangsa dapat kita rasakan, misalnya ketika
bendera Merah Putih berkibar dalam kejuaraan olahraga antarnegara.
Keberhasilan
bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya merupakan salah satu bukti
cinta para pahlawan terhadap bangsa dan negara. Bukti cinta yang dilandasi
semangat kebangsaan diwujudkan dengan pengorbanan jiwa dan raga. Segenap pengorbanan
rakyat tersebut bertujuan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari
penjajah.
Semangat
kebangsaan disebut juga sebagai nasionalisme dan patriotisme. Nasionalisme adalah
suatu paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi harus
diserahkan kepada negara kebangsaan atau nation state. Ada dua jenis
pengertian nasionalisme, yaitu nasionalisme dalam arti sempit dan nasionalisme dalam
arti luas. Nasionalisme dalam arti sempit, juga disebut dengan nasionalisme
yang negative karena mengandung makna perasaan kebangsaan atau cinta terhadap
bangsanya yang sangat tinggi dan berlebihan, sebaliknya memandang rendah terhadap
bangsa lain.
Nasionalisme
dalam arti sempit disebut juga dengan chauvinisme. Chauvinisme ini
pernah
dipraktikkan
oleh Jerman pada masa Hitler tahun 1934–1945. Paham tersebut menganggap Jerman di
atas segala-galanya di dunia (Deutschland Uber Alles in der Wetf). Jenis
nasionalisme yang kedua adalah nasionalisme dalam arti luas atau yang berarti positif.
Nasionalisme dalam pengertian inilah yang harus dibina oleh bangsa Indonesia
karena mengandung makna perasaan
cinta
yang tinggi atau bangga terhadap tanah air akan tetapi idak memandang rendah
bangsa lain. Dalam mengadakan hubungan dengan negara lain, kita selalu mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara sendiri serta menempatkan negara lain sederajat
dengan bangsa kita.
Patriotisme
berasal dari kata patria, yang artinya ‘tanah air’. Kata patria kemudian
berubah menjadi kata patriot yang artinya ‘seseorang yang mencintai tanah air’.
Patriotisme berarti ‘semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang bersedia
mengorbankan segala-galanya untuk mempertahankan bangsanya’. Patriotisme muncul
setelah lahirnya nasionalisme, tetapi antara nasionalisme dan patriotisme
umumnya diartikan sama. Jiwa patriotisme telah tampak dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia, antara lain diwujudkan dalam bentuk kerelaan para pahlawan
bangsa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan mengorbankan jiwa
dan raga. Jiwa dan semangat bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan sering juga
disebut sebagai jiwa dan semangat 45. Jiwa dan semangat 45 di antaranya adalah:
1.
pro-patria dan primus patrialis ‘mencintai tanah air dan
mendahulukan kepentingan tanah air,
2.
jiwa solidaritas dan kesetiakawanan dari semua lapisan masyarakat terhadap perjuangan
kemerdekaan,
3.
jiwa toleran atau tenggang rasa antaragama, antarsuku, antargolongan, dan antar
bangsa,
4.
jiwa tanpa pamrih dan bertanggung jawab; serta
5.
jiwa ksatria dan kebesaran jiwa yang tidak mengandung balas dendam.
Nasionalisme
dan patriotisme dibutuhkan bangsa Indonesia untuk menjaga kelangsungan hidup
dan kejayaan bangsa serta negara. Kejayaan sebagai bangsa dapat dicontohkan
oleh seorang atlet yang berjuang dengan segenap jiwa dan raga untuk membela
tanah airnya. Salah satu semangat yang dimiliki para pendiri negara dalam
merumuskan Pancasila adalah semangat mendahulukan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.
2. Komitmen Para Pendiri Negara dalam Perumusan
Pancasila sebagai Dasar Negara
Komitmen
adalah sikap dan perilaku yang ditandai oleh rasa memiliki, memberikan
perhatian, serta melakukan usaha untuk mewujudkan harapan dan cita-cita dengan
sungguh-sungguh. Seseorang yang memiliki komitmen terhadap bangsa adalah orang
yang akan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
Para
pendiri negara dalam perumusan Pancasila memiliki komitmen sebagai berikut:
a.
Memiliki semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme Pendiri negara memiliki
semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme yang tinggi ini diwujudkan dalam
bentuk mencintai tanah air dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan pribadi dan golongan.
b.
Adanya rasa memiliki terhadap bangsa Indonesia Pendiri negara dalam merumuskan
Pancasila dilandasi oleh rasa memiliki terhadap bangsa Indonesia. Oleh karena
itu, nilai-nilai yang lahir dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang berasal
dari bangsa Indonesia sendiri. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah,
dan keadilan sosial adalah nilai-nilai yang berasal dan digali dari bangsa
Indonesia.
c.
Selalu bersemangat dalam berjuang Para pendiri negara selalu bersemangat dalam memperjuangkan
dan mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh.
Hatta, dan para pendiri negara lainnya yang mengalami cobaan dan tantangan
perjuangan yang luar biasa. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta berkali-kali
dipenjara oleh Belanda. Namun, dengan semangat perjuangannya, para pendiri Negara
tetap bersemangat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
d.
Mendukung dan berupaya secara aktif dalam mencapai cita-cita bangsa, yaitu
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
e.
Melakukan pengorbanan pribadi dengan cara menempatkan kepentingan negara di
atas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta
mendukung keputusan yang menguntungkan bangsa dan negara walaupun keputusan
tersebut tidak disenangi.
Sebagai
siswa dan generasi muda, tentu kalian juga harus memiliki komitmen dalam
berbangsa dan bernegara. Komitmen berbangsa dan bernegara bagi generasi muda
salah satunya dilakukan dengan berkomitmen untuk mempersiapkan dan mewujudkan
masa depan yang lebih baik. Salah satu upaya untuk mewujudkan masa depan yang
lebih
baik adalah giat belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar